Sebelum anda berusaha untuk membaca ini lebih jauh, saya anjurkan untuk membaca bismillah dan menguatkan mata anda agar tidak kelilipan karena tulisan tulisan di blog ini meruapakan tulisan hasil ekskresi otak yang gak karuuan dan saya pun gak tau punya otak apa enggak, serta jangan panik, maka berdoalah sebelum membaca hasil coretan iseng ini

Jumat, 21 November 2014

Ujung Jalan

Jumat, 16:30 Sore

“Ini Yah, Lumayan laaaah, cakep” Aku berusaha menggoda Ayahku yang sedang ngopi sore di teras rumah dengan foto perempuan cantik. Bukan foto porno. Ini foto perempuan yang aku taksir.

“Not bad lah. Cantik. Udah sikat aja mah kalo kata Ayah, mas” Jawab Ayahku sambil menyipitkan matanya ke arah hpku. “Mas hebat juga berani naksir cewek cantik gini. Heheheh” Tambahnya sedikit satire.


Aku melihat fotonya memang cantik. Tuhan telah menunjukkan anugrahnya sekali lagi kepadaku. Perempuan ini tidak akan aku lepaskan.  Perkataanku dalam hati, entah mungkin bisa berubah.

“Mas, dulu, ibu mu juga cantik kayak gitu, tapi dulu Ayah ketemu Ibu itu waktu Ayah uda jadi tentara, Ayah lari tiap sore bareng pasukan dan selalu ketemu Ibu mu yang baru pulang kerja. Ayah masih inget satu pleton nyanyi Yel-yel “Terong Ungu” untuk menggoda ayah supaya segera melamar ibu mu. Dulu, ibu mu itu bisa bikin ayah semangat” Ayah ku mulai bercerita masa muda nya. Bisa lama ini

Btw, awalnya tadi aku yang bermaksud cerita ke Ayahku, tapi sekarang malah Dia yang nostalgia.

“Kalau kamu mau cewek ini jadi sama kamu, ya buat dia serasa jadi penyemangatmu untuk sukses. Ayah tau, sukses patokannya bukan Cuma uang dan mapan. Tapi, itu juga salah satu unsure yang penting mas” Belom minta wejangan uda dikasih aja

Beberapa wejangan berlalu,

Aku bercerita ke Ayah, mengenai Dia, yang sebenernya sudah punya pacar. Dan sudah cukup lama juga bersama pacarnya. Aku bercerita tentang masalah yang baru-baru ini aku pikirkan, sebenernya, Nih anak emang suka juga dengan aku, atau tidak. Berkali-kali dia bilang suka, tapi dia tidak bisa memilih antara aku dan pacarnya. Membingungkan.

Kemudian Ayah ku beranjak sambil membawa cangkir kopinya.

***

Aku mendekskripsikan seolah dia berada di persimpangan jalan. Dia sedang menuju tempat yang ia sebut kebahagiaan. Di awal perjalanannya, tampak mulus dengan hanya ada satu jalan beraspal yang panjang. Jalan aspal itu lebar, sehingga dia leluasa untuk bergerak. Jalan itu juga Cuma satu, sehingga dia gak bingung mau kemana dia selanjutnya.

Mungkin setelah beberapa bulan, atau bahkan tahun berjalan. Jalan besar tadi lambat laun berubah dan mengecil. Semakin lama terasa semakin kecil. Hingga akhirnya sampai di ujung jalan beraspal. Ia melanjutkannya menuju jalan setapak, jalan itu berbatu dan berpasir. Tapi dia masih bisa melaluinya, karena sepatu yang ia gunakan cukup kuat.

Wanita itu adalah perempuan yang sedang aku suka. Saat aku datang, aku bagaikan jalan baru untuknya. Bukan jalan beraspal, tapi sama. Aku jalan setapak yang ada di pelupuk matanya. Dia mulai bingung saat menemukan dua jalan yang sekarang bisa menuntunnya menuju bahagia. Dia merasa dua jalan ini punya kesempatan yang sama.

Sampai akhirnya dia tiba di persimpangan jalan. Satu jalan tadi mulai bercabang, ke kanan dan ke kiri. Tapi, dia tidak memilih untuk melanjutkan perjalanan, dia memilih berhenti dan menunggu sampai salah satu jalan setapak ini berubah menjadi aspal. Sampai jalan beraspal sempit ini berubah menjadi jalan beraspal yang besar. Dia masih berhenti untuk menunggu hal itu terjadi.

Tapi, jalan kedua yang muncul di pelupuk matanya lama lama tersapu angin dan memudar. Dan sekarang mulai ditumbuhi rumput liar yang menutupi tapak tapak nya. Kini jalan itu sudah tidak terlihat seperti jalan lagi. Hanya seperti padang yang berada mengitari jalan yang pertama. Ternyata jalan setapak yang kedua memutuskan untuk membuat jalan baru untuk wanita lain.

***

Ayahku masuk ke kamarku dan bilang, “Leave her, Mas”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komen kamu buat saya lebih rajin menulis