“Ini Yah, Lumayan laaaah, cakep”
Aku berusaha menggoda Ayahku yang sedang ngopi sore di teras rumah dengan foto
perempuan cantik. Bukan foto porno. Ini foto perempuan yang aku taksir.
“Not bad lah. Cantik. Udah sikat
aja mah kalo kata Ayah, mas” Jawab Ayahku sambil menyipitkan matanya ke arah
hpku. “Mas hebat juga berani naksir cewek cantik gini. Heheheh” Tambahnya
sedikit satire.
Aku melihat fotonya memang
cantik. Tuhan telah menunjukkan anugrahnya sekali lagi kepadaku. Perempuan ini tidak
akan aku lepaskan. Perkataanku dalam
hati, entah mungkin bisa berubah.
“Mas, dulu, ibu mu juga cantik
kayak gitu, tapi dulu Ayah ketemu Ibu itu waktu Ayah uda jadi tentara, Ayah
lari tiap sore bareng pasukan dan selalu ketemu Ibu mu yang baru pulang kerja.
Ayah masih inget satu pleton nyanyi Yel-yel “Terong Ungu” untuk menggoda ayah
supaya segera melamar ibu mu. Dulu, ibu mu itu bisa bikin ayah semangat” Ayah
ku mulai bercerita masa muda nya. Bisa lama ini
Btw, awalnya tadi aku yang
bermaksud cerita ke Ayahku, tapi sekarang malah Dia yang nostalgia.
“Kalau kamu mau cewek ini jadi
sama kamu, ya buat dia serasa jadi penyemangatmu untuk sukses. Ayah tau, sukses
patokannya bukan Cuma uang dan mapan. Tapi, itu juga salah satu unsure yang
penting mas” Belom minta wejangan uda dikasih aja
Beberapa wejangan berlalu,
Aku bercerita ke Ayah, mengenai
Dia, yang sebenernya sudah punya pacar. Dan sudah cukup lama juga bersama
pacarnya. Aku bercerita tentang masalah yang baru-baru ini aku pikirkan,
sebenernya, Nih anak emang suka juga dengan aku, atau tidak. Berkali-kali dia
bilang suka, tapi dia tidak bisa memilih antara aku dan pacarnya.
Membingungkan.
Kemudian Ayah ku beranjak sambil
membawa cangkir kopinya.
***
Aku mendekskripsikan seolah dia
berada di persimpangan jalan. Dia sedang menuju tempat yang ia sebut
kebahagiaan. Di awal perjalanannya, tampak mulus dengan hanya ada satu jalan
beraspal yang panjang. Jalan aspal itu lebar, sehingga dia leluasa untuk
bergerak. Jalan itu juga Cuma satu, sehingga dia gak bingung mau kemana dia
selanjutnya.
Mungkin setelah beberapa bulan,
atau bahkan tahun berjalan. Jalan besar tadi lambat laun berubah dan mengecil.
Semakin lama terasa semakin kecil. Hingga akhirnya sampai di ujung jalan
beraspal. Ia melanjutkannya menuju jalan setapak, jalan itu berbatu dan
berpasir. Tapi dia masih bisa melaluinya, karena sepatu yang ia gunakan cukup
kuat.
Wanita itu adalah perempuan yang
sedang aku suka. Saat aku datang, aku bagaikan jalan baru untuknya. Bukan jalan
beraspal, tapi sama. Aku jalan setapak yang ada di pelupuk matanya. Dia mulai
bingung saat menemukan dua jalan yang sekarang bisa menuntunnya menuju bahagia.
Dia merasa dua jalan ini punya kesempatan yang sama.
Sampai akhirnya dia tiba di
persimpangan jalan. Satu jalan tadi mulai bercabang, ke kanan dan ke kiri.
Tapi, dia tidak memilih untuk melanjutkan perjalanan, dia memilih berhenti dan
menunggu sampai salah satu jalan setapak ini berubah menjadi aspal. Sampai
jalan beraspal sempit ini berubah menjadi jalan beraspal yang besar. Dia masih
berhenti untuk menunggu hal itu terjadi.
Tapi, jalan kedua yang muncul di
pelupuk matanya lama lama tersapu angin dan memudar. Dan sekarang mulai
ditumbuhi rumput liar yang menutupi tapak tapak nya. Kini jalan itu sudah tidak
terlihat seperti jalan lagi. Hanya seperti padang yang berada mengitari jalan
yang pertama. Ternyata jalan setapak yang kedua memutuskan untuk membuat jalan
baru untuk wanita lain.
***
Ayahku masuk ke kamarku dan
bilang, “Leave her, Mas”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komen kamu buat saya lebih rajin menulis